Sambang Sedulur Sekeluarga: Perjalanan Panjang Muara Wahau

Juni 2022. Muncul sebuah teka-teki terlontar secara lisan dari pria tua berjiwa muda yang tak lain adalah bapak saya sendiri. Teka-teki untuk menemukan dimana letak Es di pasar. Karena lelah berpikir karena menunggu makanan tak kunjung datang, saya hanya terdiam. Bapak saya menunjukan, tempat Es berada di tengah pasar. Saya berpikir, dan berusaha untuk menemukan korelasi jawaban dan pertanyaan. Tidak lama kemudian, baru tersadar. Maksud dari teka-teki itu adalah huruf S dalam kata pasar yang berada ditengah Pa dan Ar. Seketika, saya tertawa kecil sambil melihat ke depan, ibu saya sedang duduk menunggu makanan selesai dibuat untuk dibawa pulang.

Langit mulai gelap, suara adzan maghrib berkumandang. Radio dalam mobil dimatikan dan lampu kecil mobil mulai dinyalakan. Adek saya yang berada disamping saya sedang asyik terhadap gawaiannya. Sekitar 2 menit kemudian, ibu masuk mobil dan menaruh makanan diantara saya dan adek saya. Sebungkus cumi dan ikan bakar sebagai santapan malam ini di rumah. Sambil berusaha mencari jalan untuk memutar balik arah, bapak tiba-tiba memberi ajakan untuk silaturahmi ke kerabat bapak yang berada di Muara Wahau. Masih sebatas rencana, belum ada kepastian tanggal, dikarenakan sedang melihat kondisi, apalagi di tempat tinggal saya di Bontang, kadang cuaca tak menentu. 

Ada alasan kenapa bapak merencanakan untuk berkunjung ke rumah kerabatnya di Muara Wahau. Ternyata, bapak sudah beberapa kali berkunjung ke Muara Wahau namun pergi sendirian. Pada akhirnya, beliau mengharapkan bapak saya untuk mengajak anak-anaknya dapat berkunjung ke rumahnya. Itulah alasan bapak saya mengajak saya dan adek saya untuk ikut ke Muara Wahau. Sekaligus untuk silaturahmi dalam rangka masih dalam suasana lebaran.

Awalnya, rencana untuk berangkat yaitu tanggal 3 Juni 2022. Namun, karena kurang perhitungan dan pertimbangan cuaca yang kurang baik, pada akhirnya tidak jadi dan akan berangkat esok hari. Bapak mengingatkan kami semua untuk bangun lebih pagi dan rencana berangkat dari rumah jam 8 pagi. Ternyata saat melakukan perjalanan ke Muara Wahau, bapak juga mengajak serta Om Wahid, yang kebetulan sedang main ke rumah. Rencana, kami berada di Muara Wahau selama 3 hari 2 malam.

4 Juni 2022, tepat jam 7 pagi, sebagian dari kami sudah mandi dan tinggal persiapan akhir dan sarapan. Ibu dan bapak merencanakan untuk membawa perbekalan dengan menu sederhana namun dengan kuantitas banyak seperti 5 ayam goreng, 5 lele gorang, nasi dan mie instant goreng. Semua dimasukan dalam wadah kotak plastik dan ditutup dengan kertas minyak. Kemudian dimasukan kantong plastik berukuran besar dan dimasukan ke dalam mobil. Selanjutnya memasukan koper ukuran sedang, kardus berisikan sembako dan baju-baju bekas kerja bapak ke dalam bagasi mobil. Om Wahid datang dengan motornya dan parkir di dalam garasi mobil. Saya duduk sebagai penumpang depan, bapak yang mengemudikan mobil, ibu dan adik saya duduk ditengah sementara Om Wahid duduk barisan paling belakang.

Mobil bergerak mundur keluar dari garasi mobil rumah, Kemudian menepi dipinggir jalan, salah satu penumpang yaitu ibu saya, turun untuk menutup pagar rumah kemudian kembali ke mobil. Dari depan, sahutan tetangga yang kebetulan sedang menyapu teras rumah. Obrolan singkat mengenai kondisi jalan, menanyakan berapa lama kami berada di sana dan diakhiri dengan salam. Perjalanan diperkirakan ditempuh selama 6-8 jam, melewati Sangkima, Sangatta dan proyek tambang.

Berangkat dari rumah jam 7.20 WITA, Seperti biasa, saat perjalanan jauh, bapak mengintruksikan untuk menghitung perjalanan dari rumah menuju tujuan dengan mengingat odometer mobil dan jam berangkat. Perjalanan menuju Sangatta, kami memilih melalui jalan pintas dalam kota dengan melalui Bukit Kusnodo. Lumayan memangkas waktu sampai 15 menit jika dibandingkan melalui jalan nasional atau provinsi dari gerbang selamat datang Kota Bontang. Selama mata memandang jalan, masih terdapat jalan-jalan yang berlubang namun ada jalan mulus menggunakan beton, tidak lama kembali ke jalan aspal yang berlubang. Jika belum terbiasa melalui jalan ini, disarankan mengendarai mobil dengan tidak berkecepatan tinggi karena terdapat lubang yang tidak keliatan.

Ini merupakan perjalanan pertama saya, ibu dan adek saya untuk menuju Muara Wahau. Walau selama di Kalimantan Timur sekeluarga pernah ke luar kota, namun tempat yang dituju adalah Samarinda atau Balikpapan. Kedua kota juga memiliki kerabat dan memiliki kenangan masing-masing. Walaupun tidak ada hubungan keluarga, tapi saya rasa seperti keluarga sendiri. Misal di Samarinda, orang tua saya akrab dengan orang tuanya Om Surya dan Tante Yuni, pasutri yang sempat menyewa rumah orang tua saya. Ketika saya masih kecil, saya memanggil "mbah" dan pernah bermain bersama mbah ketika sedang berkunjung ke rumah. Ketika sedang liburan atau berada di Samarinda, bapak mengajak kami untuk ke rumah orang tua Om Surya dan Tante Yuni, terakhir kami ke sana untuk melihat kondisi kesehatan keduanya. Ada hal yang paling saya ingat ketika berkunjung ke rumah mbah, yaitu melihat seekor musang. Kabar terakhir, mbah laki-laki meninggal ketika saya masih sekolah dan mbah perempuan meninggal tahun 2022.

Di Balikpapan, orang tua saya memiliki kerabat yang telah membantu orang tua saya ketika merantau ke Kalimantan. Ketika berada di Balikpapan, bapak saya selalu mengajak sekeluarga untuk mampir ke rumah mbah yu nya bapak saya atau saya memanggilnya Bude dan Pakde. Rumahnya diapit oleh sekolah SD dan SMK di Balikpapan, letaknya berada persis ditanjakan. Suasana sekitar masih ada pepohonan dan terdapat rumah-rumah yang berada di belakang sekolah SD. Saat pagi hari, suasana masih segar ditambah dengan suara ayam yang berkokok, serasa di kampung. Rumah berlantai 3 dengan chat berwarna hijau, biasanya jika kami berkunjung mobil diparkir depan lantai 3, berada persis di tepi jalan menanjak. Kemudian turun tangga ke lantai 1, biasanya bude atau pakde sedang bersantai di ruang tv sekaligus ruang keluarga yang berada di lantai 1. Tidak hanya akrab dengan bude dan pakde, orang tua saya juga akrab dengan ketiga anak bude dan pakde. Bahkan masih saling berkomunikasi melalui whatsapp dengan saling memberi kabar. Kabar terakhir, bude wafat tahun 2021. Berselang setahun, Mas Agus (Anak kedua), meninggal dunia saat karena sakit.

Untuk di Muara Wahau, bapak memiliki kerabat senasib pada saat zaman dulu. Saya memanggilnya dengan panggilan Bude. Beliau pernah beberapa kali menginap di rumah ketika sedang berkunjung ke Bontang. Sementara saya dan adek saya, belum pernah sama sekali ke Muara Wahau. Saya tidak terlalu berekspektasi banyak mengenai rumah bude di Muara Wahau, selain berharap sinyal masih ada karena saya ada janji dengan teman-teman saya untuk rapat mengenai sebuah project. Untuk ke Muara Wahau adalah melalui jalan ke arah utara melewati Sangatta, berbeda dengan Samarinda dan Balikpapan yang perjalanannya ke arah selatan dari Bontang. Setelah 1 jam 20 menit, sampai di Sangatta, Kutai Timur. Kota ini memang jarang menjadi tujuan saya ketika berpergian untuk berlibur. Terakhir, saya ke Sangatta untuk service mobil bersama keluarga. 

Dengan mengandalkan Google Maps, bapak menginstruksikan untuk mengetik tujuan ke Muara Wahau. Walau bapak sudah beberapa kali ke Muara Wahau, tetap harus menggunakan bantuan Maps agar lebih meyakinkan. Ditambah cuaca seperti menunjukan tanda-tanda akan turun hujan. Selama perjalanan di Sangatta, bapak teringat satu tempat makan yang menjadi salah satu tempat favorit ketika berada di Sangatta. Lebih tepatnya, berada dekat dengan jembatan kembar. Bapak bercerita dengan sekilas mengenai makanannya dan momen saat makan satu keluarga. Jujur, saat saya mendengar cerita, saya sendiri tidak begitu mengingat dengan jelas momen tersebut. Saya mencoba untuk mengingat kembali momen saat berkunjung ke Sangatta, dari yang pertama kali hingga momen terakhir. Saya tidak menemukannya dan hanya terdiam. 

Sampai sebuah persimpangan jalan, arah lurus untuk menuju rumah sakit umum, belok ke kiri untuk melanjutkan perjalanan ke Muara Wahau dengan melewati Kantor Pertambangan PT. KPC. Jalan berlubang masih dapat ditemui selama perjalanan ditambah dengan medan jalanan yang berbukit. Terlihat truk berlalu lalang, mulai dari yang ukuran kecil hinggan truk tronton yang mengharuskan mengurangi kecepatan, apalagi saat berpas-pasan di kondisi jalan yang rusak. Lebih mengerikan lagi, selama perjalanan melihat ada kecelakaan seperti truk terguling di tanjakan. Sedih dan prihatin melihat itu, apalagi berada ditengah-tengah hutan dengan kondisi susah sinyal dan jauh dari perkotaan. Bisa membayangkan seberapa bingung untuk mencari bantuan, apalagi kemungkinan bisa dimarahi oleh atasan dan rugi secara meterial.

Tanpa sadar sudah berada di pertigaan jalan, ada petunjuk jalan dekat dengan SPBU terdapat tulisan Muara Wahau yang mengarah ke kiri. Agak sedikit curiga, karena banyak pengendara yang berbelok ke kanan dan jalan ke kanan lebih luas ketimbang ke kiri. Biar lebih meyakinkan, saya juga membuka maps, sama-sama mengarahkan kami untuk belok kiri. Mobil berbelok ke kiri mengikuti petunjuk jalan yang tadi diliat. Alangkah terkejutnya kami satu mobil, karena jalanan makin sempit ditambah tanaman yang semakin menutupi sebagian jalan. Kami semakin bingung dan takut mengarahkan ke jurang atau takut salah jalan. Betul saja, kami berhenti setelah 1 menit menyusuri jalan tersebut, dan melihat jalan depan seperti buntu untuk mobil. Akhirnya mobil berputar mudur dan memilih kearah jalan yang satunya. Betul saja, tidak jauh terlihat sebuah petunjuk jalan yang mengarahkan kami untuk belok kiri untuk ke Muara Wahau sementara lurus untuk ke Berau.

Setelah belok kiri mengikuti petunjuk arah yang baru, beberapa meter ruas jalan terbilang bagus, karena sudah diaspal dan ada yang sudah beton. Namun, tetap untuk porsi jalanan rusak masih banyak ketimbang jalanan bagus, ditambah terdapat jalanan rusak di jalanan menanjak. Ngeri-ngeri sedap, karena kemiringan tanjakannya lumayan menanjak, dan kemungkinan rawan kecelakaan karena struktur jalan belum aspal. Selama perjalanan, saya juga melihat aktivitas perbaikan jalan dan melihat alat-alat berat dipinggir jalan. Sepertinya milik keluarga besar Bapak Jusuf Kalla, Mantan Wakil Presiden, karena terdapat stiker Kalla Group tertempel di alat-alat berat tersebut.

Selama perjalanan, cuaca beberapa kali berubah berawal dari panas, berawan, mendung, gerimis, hujan deras, mendung lagi, cerah tapi tiba-tiba gerimis dan kembali berawan. Mobil yang awalnya bersih karena sudah dimandikan dua hari sebelum berangkat oleh bapak saya, terpaksa harus melewati jalanan becek ditambah debu-debu yang bertaburan. Saya juga tidak sengaja memperhatikan kondisi jalan, saat posisi dibelakang truk ukuran sedang. Dimana ketika suatu titik jalan, saya melihat pinggiran jalan aspal menjadi pecah saat dilindas truk tersebut. Saya sendiri tidak begitu paham mengenai konstruksi jalan. Bisa saja jalanan rusak karena memang kondisi geografis atau bahan jalanannya yang kurang kuat untuk menahan beban. Saya sendiri lebih suka jalanan beton ketimbang aspal, karena beton terlihat rapi dan kuat sementara aspal seperti cepat berlubang. Tapi semua pastinya punya kelebihan dan kekurangannya dan dalam pemanfaatannya juga telah diperhitungkan.

Tiba di Muara Bengalon, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Saya dibuat campur aduk, antara kagum bercampur seram, takut dan bingung. Karena saya melihat wilayah tambang yang cukup luas. Saya kagum, karena memang wilayah tersebut terdapat potensi yang dapat dikelola, hingga tebing-tebing berbatuan, berubah menjadi mulus. Seram, karena warnanya abu-abu, membuat kesan seperti menyeramkan. Takut, karena berpotensi terjadi bencana alam yang lebih besar atau perubahan iklim, seperti banjir yang berdampak pada lingkungan penduduk di sekitar tempat tambang atau bahkan skala yang lebih besar. Bingung, karena jika tidak dikelola seperti itu, negara tidak akan punya penghasilan dan akan berdampak pada ekonomi negara dan akan berdampak berbagai sektor. Tapi saya jadi teringat masalah mengenai tambang yang memakan korban jiwa akibat lubang bekas lokasi tambang. Jika sudah seperti itu, saya hanya bisa berharap untuk ada tanggung jawab setelah wilayah tersebut selesai dikeruk.


Tiba disebuah warung yang berada tepat di turunan jalan. Terdapat dua warung dengan bentuk bangunan persegi panjang. Warung pertama berwarna hijau yang letak disebelah kiri, warung kedua berwarna biru yang berada di kanan. Ditengah antara warung-warung tersebut, terdapat kolam ikan dengan pantung bebek diatas. Dibelakang kolam, terdapat seperti spot foto dengan pembatas kayu dengan suguhan pemandangan hutan tropis dari atas bukit. Terdapat kamar mandi umum berwarna biru tepat disampingnya. Warung biru tersebut bernama Warung Banyuwangi, tempatnya cukup besar dan memanjang. Bisa pilih untuk lesehan atau duduk di kursi. Terdapat ruang istirahat yang cukup luas, biasanya dipakai untuk supir truk sambil pesan segelas kopi.


3 Jeruk hangat, segelas kopi, dan sebotol air mineral 550 ml, dengan makanannya 1 nasi goreng, 3 ayam goreng. Sambil menunggu makanan datang, saya kembali ke spot foto bersama adek saya sekaligus menenunggu adek saya ke kamar mandi. Cuaca saat itu sudah kembali cerah, saya manfaatkan momen tersebut untuk membuat video yang terinspirasi dari media sosial, dilanjutkan foto selfie dengan adek saya. Tidak sengaja kami menemukan Cangcorang atau belalang sembah disebuah tanaman yang letaknya di depan pintu kamar mandi. Saat saya foto dan video, belalang sembah seperti sedang berpose dengan kepala menghadap kamera. Selanjutnya, kembali ke warung untuk bersiap makan siang. 3 ayam goreng yang sudah dipesan akhirnya datang, bersama dengan minumannya. Sayangnya, pesanan saya yaitu nasi goreng belum kunjung datang. Hingga 3 ayam goreng dan minuman telah habis, 2 menit setelahnya, nasi goreng baru datang. Bapak sempat bercanda, untuk meninggalkan saya sendiri, setelahnya saya disuruh untuk santai saja menikmati makanan.


Setelah selesai makan, kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan menuju Wahau Wahau. Dikarenakan perjalanan masih jauh dan panjang maka bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Sebelumnya, bapak saya sudah mengkalkulasikan estimasi perjalanan dan rencana tiba di tujuan sebelum matahari terbenam. Kami berangkat dari warung di wilayah Muara Bengalon jam 11 siang, kemudian berhenti lagi untuk sholat, ke kamar mandi, dan membeli cemilan yang semua itu terdapat di salah satu warung tepat jam setengah 1 siang, dan melanjutkan kembali perjalanan. Selama perjalanan setelahnya, saya tertidur lelap. Terbangun saat berada dekat dengan Muara Wahau. 

Tanpa sadar sudah memasuki Muara Wahau, kesan pertama adalah banyak Pohon Sawit dan kondisi jalan yang masih rusak. Muara Wahau mengingatkan saya dengan desa rumah mbah saya di Jawa. Yang membedakan, adalah di Muara Wahau terdapat banyak kebun sawit, masih minim sarana dan pra-sarana termasuk beberapa kondisi jalan raya yang rusah dengan jumlah lebih banyak dan penduduknya lebih sedikit. Sisanya, sama seperti rumah sederhana, toko kelontong atau UMKM milik masyarakat sekitar, masyarakat yang banyak menggunakan sepeda motor tanpa menggunakan helm dan suara ayam. Bapak terkagum dengan perkembangan di Muara Wahau, karena semakin ramai dengan jalanan yang lebih baik. Bapak bercerita terakhir kali ke Muara Wahau sekitar 10 tahun yang lalu, jalanan masih rusak dan belum seramai saat ini.

Selanjutnya adalah mencari rumah bude, yang ternyata masih 30 menit dari gerbang selamat masuk Muara Wahau. Letaknya di daerah Kongbeng. Kami semua sempat kebingungan, karena saat ditelpon awalnya mengira sebelum terminat, ternyata setelah terminal Kongbeng. Mobil sempat berputar arah sebanyak dua kali untuk mengikuti arahan tersebut. Kemudian, kami menelpon bude kembali, karena sudah berada di titik yang ditentukan, yaitu tower telkom. Kemudian kami diarahkan untuk berbelok setelah melihat sekolah dan lurus hingga menumakan rumah bude. Jalan menuju rumah bude belum beraspal dan masih tanah. Harus berhati-hati apalagi saat setelah turun hujan, becek dan licin.

Tiba di rumah bude tepat jam 3 sore. Di depan rumah bude teradapat masjid yang masih dalam tahap pembangunan. Ketika kami tiba di rumah bude, mendekati waktu ashar dan beberapa anggota ada yang sudah berangkat untuk menuju masjid tersebut. Kami disambut langsung oleh bude ekspresi bude yang begitu senang kemudian disambut pakde dan tetangga yang kebetulan berada di rumah bude. Kami duduk lesehan berasalkan karpet lembut yang berada di rumah barunya bude yang mayoritas menggunakan kayu ulin dan masih dalam progress pembangunan. Saya duduk bersama bapak dan adek ditemenin pakde berada di ruang tamu, Om Wahid berada di ruang tengah mengobrol dengan seseorang. Sementara ibu, mengobrol dengan bude, anaknya bude dan cucunya berada di rumah samping. 


Menjelang maghrib, kami dipersilahkan untuk beberes diri dan makan malam yang telah dihidangkan. Kami semua makan di dapur tepat di belakang rumah baru dengan beralaskan karpet. Suasana begitu hangat dan penuh kekeluargaan dengan kondisi sederhana namun bermakna. Walau sebagaian rumah baru belum berlantai, dan sebagian masih beralaskan semen termasuk bagian dapur dan jalan konektor ke rumah samping, namun membuat kaki menjadi dingin dan lebih enak untuk melangkah karena permukaan yang halus. Tak lupa ada sesi foto sebagai kenang-kenangan.

Setelah makan, kami diajak untuk silaturahmi dengan kerabat bude yang letaknya tidak jauh dari rumah bude. Kami menggunakan satu mobil dan satu motor. Bude naik motor bersama anaknya, sementara saya, bapak, ibu, adek, pakde, Cucunya dan Om Wahid menaiki mobil. Dengan melewati jalan tanah yang bergelombang dan minim pencahayaan, tibalah di rumah kerabat bude. Halaman rumahnya cukup luas, di depan rumahnya terdapat lapangan, samar-samar seperti lapangan volly. Kami dipersilahkan masuk dan menemui tuan rumah. Perempuan memilih untuk duduk lesehan di ruang tengah, sementara mayoritas laki-laki memilih di ruang tamu. 1 jam kemudian, kami berpamitan pulang dan istirahat untuk bersiap diajak jalan-jalan, silaturahmi dengan kerabat-kerabat bude lain dan melihat rumah bapak yang berada di Muara Wahau.